Ayo Lawan Kekerasan Berbasis Gender
Kekerasan berbasis gender merupakan suatu tindak kejahatan sosial (sosial crime),kekerasan berbasis gender
ini lebih sering terjadi pada perempuan dan anak dan biasanya juga terjadi pada laki-laki tetapi jumlah
kasusnya lebih kecil dibandingkan dengan perempuan dan anak,dan kekerasan berbasis gender ini tidak
terpisahkan dari beragam konstruksi sosial-budaya yang tidak adil.dan data laporan dari komisioner komisi
nasional antikekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan kekerasan berbasis gender
ini meningkat 63% selama pandemic COVID-19 yang ditenggarai karena perempuan lebih banyak
menghabiskan waktu dirumah.
Setiap elemen masyarakat baik itu individu maupun institusional seharusnya ikut andil dalam pencegahan
kekerasan berbasis gender,dan kekerasan berbasis gender tersebut lahir dari suatu pandangan sosial
budaya patriarchal,yang memandang gender yang tidak adil dan setara utamanya antara kaum laki-laki dan
perempuan. Sebagai contohnya bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari seperti memandang lumrah saat
perempuan ibu rumah tangga yang lingkup kerjanya seperti”mengurus anak,suami,dan rumah”.bahkan
dalam proses pembuatan keputusan dalam rumah tangganya sendiri,bahkan saat mereka mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya pun,kita masih menganggapnya sah,karena dalam
ideology patriakisme suami punya hak untuk melakukan hal itu.
Kekerasan berbasis gender bisa terjadi diantara kaum laki-laki,atau sesama perempuan atau oleh
perempuan terhadap laki-laki. Begitulah gambarnya,kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan
terhadap perempuan benar merupakan suatu kejahatan sosial.kekerasan berbasis gender tidak akan terjadi
dalam suatu sosial-budaya yang bersih dari ideology patriarkisme dan ketidakadilan gender.pandangan
bahwa kekerasan berbasis gender merupakan kejahatan sosial memberi banyak konsekuensi.
Pertama,sebagai kejatan sosial yang dipengaruhi suatu perspektif sosial budaya tertentu,perspektif
patriakhal yang berketidakadilan gender,kekerasan berbasis gender tidak hanya bisa diselesaikan dengan
cara memberi peringatan saja,seseorang menjadi pelaku kekerasan berbasis gender tidak hanya didorong
oleh motivasi jahat dalam dirinya; ia juga mendapat legitimasi dari berbagai pandangan sosila-budaya
patriakhal,termasuk atas nama ajaran agama.
Katakanlah seorang suami terlibat dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga,melakukan pemaksaan
seksual terhadap isitrinya(marital rape),tak hanya karena dirinya memang jahat tapi karena pemahamannya
bahwa melakukan pemaksaan seksual terhadap istrinya adalah haknya,termasuk menurut ajaran
agamanya.atau seorang istri biasa merendahkan suaminya yang tak bisa mencukupi aspek finansial dalam
keluarga,tindakan itu bukan hanya karena perempuan jahat tapi karena ia tahu menurut sosialbudayanya,sang suamin wajib menjadi pencari nafkah utama. Karena itu,meski kita akhirnya berhasil
menghukum seorang pelaku kekerasan berbasis gender (berdasarkan hukum yang berlaku seperti UU
PKDRT),”keberhasilan” ini tidak selalu berujung pada putusnya atau berakhirnya kekerasan berbasis
gender dalam masyarakat.karena itu pendekatan legal-formal harus dibarengi dengan upaya untuk
mengubah pandangan sosial-budaya mereka yang terlibat dalam tindakan kekerasan berbasis gender. Dan
perlu juga diberikan layanan konsultasi bagi pelaku tindakan kekerasan berbasis gender.
Tindakan kekerasan berbasis gender ini menjadi tanggung jawab bersama bagi setiap individu,institusional
agar pelaku kekerasan berbasis gender ini bisa mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan
perbuatannya,dan bagi masyarakat juga berhenti untuk menyalahkan korban,berhenti menganggap wajar
tindakan kekerasan berbasis gender,berhenti melakukan hal tersebut dan tak diam saat menemukan kasus
kekerasan berbasis gender,adalah langkah baik permulaan tanggung jawab sosial kita atas terjadinya
kekerasan berbasis gender.selanjutnya kita ikut aktif membangun dunia sosial-budaya kita dan mengubah
ideology agar kita lebih adil dalam gender,baik secara individual maupun instotusioal, akan membentuk
tanggungjawab sangat penting agar kekerasan berbasis gender tidak terjadi lagi.jika kita punya kesadaran
bersama seperti ini, dunia sosial-budaya yang adil tanpa ada lagi kekerasan berbasis gender di dunia lebih
khususnya di Indonesia.
By: Yunita Afrida Makai
Asal Kampus : Stikes Panakkukang Makassar-Sulsel
Komentar
Posting Komentar